BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ibn Taimiyah adalah ahli fikih mazhab Hambali. Pengaruh
pemikirannya sangat besar terhadap gerakan Wahhabi, dakwah gerakan Sanusi, dan
kelompok-kelompok agama yang ekstrem yang ada di dunia Islam saat ini.
Dalam sejarah panjang pemikiran Islam, ada banyak “kata”
yang seringkali dianggap saling berbenturan dan membentuk sebuah efek
paradoksal. “Kata” itu bisa saja mewakili sebuah kelompok pemikiran (firqah),
seorang tokoh, atau juga sebuah pemikiran tertentu.
Dalam pandangan sebagian kalangan, kedua kata ini –Ibnu
Taimiyah dan Tasawuf- dipandang sebagai dua unsur yang tak mungkin bersatu. Ini
tentu tidak mengherankan, sebab Ibnu Taimiyah telah lama dianggap sebagai salah
satu tokoh yang membenci, memusuhi, dan melontarkan kritik-kritik tajamnya
terhadap Tasawuf. Pandangan ini tentu saja semakin menyempurnakan gambaran
kekerasan pada tokoh yang satu ini. Sehingga –bagi mereka yang tidak memahami
dengan baik- setiap kali mendengarkan kata “Ibnu Taimiyah”, maka opini dan
image yang tercipta adalah kekerasan, kekejaman, permusuhan, dan yang
semacamnya.
Hal-hal itulah diantaranya yang menjadi alasan pemunculan
tulisan ini. Pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran “permusuhan” Ibnu Taimiyah
dan Tasawuf akan berusaha dijelaskan melalui tulisan ini. Tentu saja dengan merujuk
langsung pada karya-karya yang diwariskan oleh Ibnu Taimiyah untuk peradaban
manusia.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi
pokok bahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana Biografi
Ibnu Taimiyah?
2.
Apa saja
pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyah?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui
Biografi Ibnu Taimiyah;
2.
Untuk mengetahui
pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyah.
D.
Metode
Penulisan
Adapun metode dalam penulisan ini adalah dengan
menggunakan metode library research, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan yang
ada kaitannya dengan permasalahan yang diangkat, kemudian menjadikannya sebuah
makalah yang ada pada pembaca saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Ibnu
Taimiyah
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abi
Al-Halim bin Taimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari Senin tanggal 10 Rabiul
Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul
Qaidah tahun 729 H. Kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk
Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kamu muslimin pada umumnya. Ayahnya bernama
Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah,
seorang Syaikh, Khatib dan hakim di kotanya.
Ibn Taimiyah terkenal sangat cerdas sehingga pada usia 17
tahun, ia telah dipercaya masyarakat untuk memberikan pandangan-pandangan
mengenai masalah hukum secara resmi. Para ulama yang merasa sangat risau oleh
serangan-serangannya serta iti hati terhadap kedudukannya di Istana Gubernur
Damaskus, telah menjadikan pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah sebagai landasan
untuk menyerangnya. Dikatakan oleh lawan-lawannya, bahwa pemikiran Ibn Taimiyah
sebagai klenik, antroporpisme, sehingga pada awal 1306 M Ibn Taimiyah dipanggil
ke Kairo kemudian dipenjarakan.
Masa hidup Ibn Taimiyah berbarengan dengan kondisi dunia
Islam yang sedang mengalami disintegrasi, dislokasi sosial, dan dekadensi moral
dan akhlak. Kelahirannya terjadi lima tahun setelah Bagdad dihancurkan pasukan Mongol,
Hulagu Khan. Oleh sebab itu, dalam upayanya mempersatukan umat Islam, mengalami
banyak rintangan, bahkan ia harus wafat di dalam penjara.
Lingkungan keluarga Ibnu Taimiyah sangat mendukung
perkembangannya untuk kelak menjadi seorang ulama dan pemikir Islam besar.
Ayahnya, Syihab al-Din ‘Abd al-Halim adalah seorang ahli hadits dan fakih
madzhab Hanbaly yang memiliki jadwal mengajar di Mesjid Jami ‘Umawy. Ia juga
kemudian menjabat sebagai kepala para ulama (masyikhah) di Dar al-Hadits
al-Sukriyah. Sang ayah ini kemudian meninggal saat Ibnu Taimiyah berusia 21
tahun, tepatnya di tahun 682 H.
Di samping hal itu, ada beberapa faktor lain yang juga
dapat disimpulkan sebagai penyebab kecemerlangan pemikiran Ibnu Taimiyah di
kemudian hari. Diantaranya adalah sebagai berikut:
a)
Kekuatan hafalan
dan pemahamannya yang luar biasa. Di usia yang masih sangat kecil ia berhasil
menyelesaikan hafalan al-Qur’annya. Setelah itu, ia pun mulai belajar menulis
dan hisab. Kemudian membaca berbagai kitab tafsir, fikih, hadits dan bahasa
secara mendalam. Semua ilmu itu berhasil dikuasainya sebelum ia berusia 20
tahun.
b)
Kesiapan pribadinya
untuk terus meneliti. Ia dikenal tidak pernah lelah untuk belajar dan meneliti.
Dan itu sepanjang hidupnya, bahkan ketika ia harus berada dalam penjara.
Mungkin itu pulalah yang menyebabkan ia tidak lagi sempat untuk menikah hingga
akhir hayatnya.
c)
Kemerdekaan
pikirannya yang tidak terikat pada madzhab atau pandangan tertentu. Baginya
dalil adalah pegangannya dalam berfatwa. Karena itu ia juga menyerukan
terbukanya pintu ijtihad, dan bahwa setiap orang –siapapun ia- dapat diterima
atau ditolak pendapatnya kecuali Rasulullah saw. Itulah sebabnya ia menegaskan,
“Tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa kebenaran itu terbatas dalam
madzhab Imam yang empat.”
B. Pemikiran
Ibnu Taimiyah
a)
Ibnu Taimiyah dan Tasawuf
Sering kita mendengar bahwa Ibnu Taimiyah itu anti
tasawuf dan penentang sufi, padahal kalau diperhatikan dari sikap dan
pandangannya dia adalah seorang sufi dan pengikut ajaran tasawuf suni (yang
sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunah), meskipun ia tidak mengistilahkan ajaran
tasawuf dengan istilah tersebut. Istilah yang sering dipakai oleh Ibnu Taimiyah
adalah istilah suluk, akan tetapi substansinya adalah apa yang ada pada ajaran
tasawuf.
Suluk menurut Ibnu Taimiyah merupakan kewajiban setiap
mukmin, seperti yang diungkapkannya dalam kitab Fatawanya. “Suluk adalah jalan
yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulnya berupa itikad, Ibadah dan Akhlak.
Semua ini telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunah, dan suluk ini
kedudukannya seperti makanan yang menjadi keharusan seorang mukmin”.
Diantara kata-kata Ibnu Taimiyah mengenai tasawuf adalah
“amal-amal hati yang diberi nama maqâmât dan ahwâl seperti: cinta kepada Allah
dan Rasulnya, tawakal, Ikhlas, sabar, syukur, khauf dan semacamnya adalah
kewajiban setiap maklhuk, baik kaum khâs atapun orang-orang awam”.
Kesufian Ibnu Taimiyah tidak hanya terbukti dari
keilmuannya saja akan tetapi perbuatan dan sikapnya telah membuktikan akan
semua ini. Adz-Dzahabi pernah bercerita bahwa dia tidak pernah menemukan orang
yang banyak berdoa dan bertawajuh kepada Allah melebihi Ibnu Taimiyah.
Ibnu Qoyyim dalam kitabnya Madarus Salikin banyak
bercerita tentang Ibnu Taimiyah dalam kerohanian (baca: Tasawuf). Dalam kitab
Kawakibud Duriyah bahwa Ibnu Taimiyah pada malam hari sering menyepikan diri
dari manusia, dia hanya sibuk dengan tuhannya, banyak bermunajat dan membaca
Al-Qur’an.
Sedang ke zuhudan dan ketawaduan Ibnu Taimiyah adalah
tauladan yang baik, dalah hal ini terbukti dengan kata-katanya, “Aku tidak
punya apa-apa, dariku tak ada apa-apa dan padaku tak ada apa-apa”.
Itulah pribadi Ibnu Taimiyah dalam suluk dan
kerohaniannya, cukuplah kiranya Ibnu al-Qayyim dan karyanya Madarus Salikin
sebagai bukti tarbiah Ibnu Taimiyah dalam konteks kesufian.
Tidak hanya itu, Ibn Taimiyah dan murid-muridnya sangat
mempercayai adanya karamah para wali. Di sini Baduruddin al-Aini berkata
tentang Ibnu taimiyah, “Di samping kemuliaan dan ketinggian Ilmunya, beliau
(ibnu Taimiyah) juga mempunyai karamah yang tidak diragukan lagi seperti yang
ku dengar dari banyak orang”.
Ibnul Qayyim juga banyak bercerita tentang firasat
(mukasyafah) Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, “Aku telah menyaksikan firasat
Syaikhul Islam dari hal-hal yang menabjubkan. Sedang hal yang tidak kusaksikan
tentu lebih banyak dan lebih agung”.
Dengan demikian tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa
Ibnu Taimiyah dan kelompoknya anti ajaran Tasawwuf. Adapun
kepercayaan-kepercayaan yang mengatas namakan sufi dan tasawwuf akan tetapi
bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah tidak hanya Ibnu Taimiyah dan
Madrasahnya yang menentang, para sufipun juga menentangnya.
Sebagai seorang intelektual wajar kalau Ibnu taimiyah
sering melontarkan kritikan terhadap tokoh-tokoh lain, hanya saja kadang Ibnu
taimiyah melampau batas dalam pandangan dan kritikannya sehingga menjadikan dia
sebagai sosok yang kontrofersi.
b)
Kontrofersi pemikiran Ibnu Taimiyah.
Pemikiran Ibnu taimiyah sering menjadi ajang polemik di
kalangan para Ulama, sejak zaman Ibnu Taimiyah sendiri, dan gara-gara itu dia
sering keluar masuk penjara, terutama mengenai masalah-masalah Akidah dan
Fiqih. Keberanian Ibnu Taimiah ini tidak hanya berbeda dengan para ulama di
zamannya, namun Ibnu Taimiyah juga sering menyalahi Ijma`. Itulah yang membuat
ulama di zamnnya geram pada Ibnu Taimiah.
Pemikiran pertama yang menjadi kontrofersi terjadi pada
tahun 698 H. Hal itu gara-gara satu fatwa yang dikenal dengan masalah hamawiah.
Fatwa ini membuat Qadhi waktu itu turun tangan, yaitu Imamauddin al-Quzwaini.
Qadhi itu memberi fatwa “Barang siapa yang mengambil pendapatnya Ibnu taimiah
maka dia akan dita`zir.” Pada tahun 705 Ibnu Taimiah kembali membikin heboh
yang membuat dirinya kembali masuk penjara, dan pada tahun 709 dia dipindahkan
ke Iskandariah, di sanapaun dia jaga mengeluarkan fatwa-fatwa aneh yang
dipermasalahkan oleh ulama setempat.
Begitulah seterusnya Ibnu taimiiyah, dia terus keluar
masuk penjara baik ketika dia di Syam atau di Mesir. Dalam beberapa kasus, Ibnu
Taimiyah terkesan tidak konsekwen pada pendapatnya, kadang dia mengaku
bermazhab Syafii, atau bermazhab Hambali dan kadang dia juga mengaku berakidah
Asyairah namun di lain kesempatan dia juga mencaci tokoh-tokoh Asya’irah,
seperti Imam Ghazali dan yang lainnya. Tidak hanya itu, Ibnu Taimiyah juga
berani lancang mencaci sahabat Nabi.
Oleh sebab itulah, ulama dari masa ke masa senantiasa
memperselisihkan sosok dan pemikiran Ibnu Taimiyah, ada yang menganggapnya
fasik, ada yang menganggapnya mubtadi` (ahli bid’ah) dan bahkan ada yang
menganggap kafir. Tidak hanya para penentangnyya yang mengkritik Ibnu taimiyah,
murid-muridnya juga sering berbeda dan menasehatinya, seperti Ibnu Katsir dan
adz-Dzahabi. Bahkan adz-Dzahabi menulis sebuah risalah husus yang berisi
nasehat-nasehat agar Ibnu Taimiyah kembali dan bertobat. Surat ini di kenal
dengan an-Nashîhah adz-Dzahabiyah li Ibn Taimiyah.
Penentang Ibnu Taimiyah sejak zaman Ibnu Taimiyah sendiri
sampai pada saat ini terus mengalir, mulai dari kalangan fuqaha madzahabil
arb’ah sampai para ulama kalam. Sedang yang mengarang kitab yang berisi
kritikan pada Ibnu taimiyah juga sangat banyak, seperti as-Subki dan
ulama-ulama setelahnya.
c)
Pemikiran kontrofersi Ibnu Taimiyah
Adapun pemikiran Ibnu Taimiyah yang dianggap bertentangan
dengan Ijma`dan mayoritas ahlu sunnah wal jamaah sangat banyak diantaranya
adalah:
1)
Keyakinanya tentang
Zat Allah yang mempunyai jasad seperti jasadnya makhluk, duduk seperti duduknya
makhluk, bertangan, mempunyai mata dang telinga. Bahkan Ibnu Taimiyah berkata
bahwa Allah turun dari langit sebagai mana turunnya dia dari mimbar. Mazhab ini
di sebut al-Hasyawiyah al-Mujassamah.
2)
Berani mencaci
Ulama dan Sahabat Nabi. Kelancangan Ibnu taimiyah ini membuat nyawanya terancam
karena telah berani mencaci Imam al-Ghazali dan pengikut Asya`irah lainnya.
Bukan hanya itu, Ibnu Taimiyah beranggapan bahwa Imannya Sayyidina Ali tidak
sah, sebab beliau masuk Islam sebelum baligh, dan Iman sayyidina Abu Bakar juga
tidak sah karena Abu Bakar beriman dalam keadaan pikun hingga beliau tidak
mengerti apa yang di ucapkan. Imam Ali ra. menurutnya mempunyai 17 kesalahan.
Dan beliau berperang karena cinta kedudukan. Sedang sayyidina Utsman menurutnya
sangat cinta dunia. Dalam kitab Durarul Kaminah dan kitab Fatawa Ibnu Taimiyah
fil-Mizan dijelaskan panjang lebar masalah ini.
3)
Inkar terhadap
Majaz. Ibnu taimiyah berasumsi bahwa dirinya dengan pemikiran itu berada dalam
Manhaj salaf. Sebab sebagaimana yang telah masyhur bahwa ulama dalam menyikapi
ayat-ayat musytabihat ada dua kelompak, kelompok pertama adalah Tafwidh
(menyerahkan penafsirannya pada Allah sendiri) mazhab ini yang diikuti oleh
kebanyakan ulama salaf. Dan kelompok kedua adalah mazhab Ta`wil (mentafsiri
ayat musytabihat sesuai dengan keesaan dan keagungan Allah) cara ini dipakai
oleh ulama khalaf.
4)
Sedang pendapat
Ibnu taimiyah dalam masalah ini berkonsekwensi pada pemahaman yang berbahaya
dalam memahami al-Quran dan nama dan sifat Allah, sebab hanya membawa pada
pengertian yang mustahil pada zat dan sifat Allah. Adapun pendapat salaf mengenai
masalah Tafwidh, salaf tidak mau panjang lebar mengenai masalah ini, sehingga
menyerahkan urusan ini pada Allah. Beda halnya dengan Ibnu taimiyah yang berani
menafsiri Al-Quran dengan lahirnya saja, sehingga mengakibatkan hal yang fatal.
5)
Disamping itu
keingkaran Ibnu taymiyah pada majaz dapat menimbulkan pengertian yang salah
terhadap teks Syariah, Ibnu Qayyim sendiri sebagai murid setia Ibnu Taimiyah
merasa kebingungan menyikapi masalah ini, sebab tidak sedikit dari ulama salaf
dan pengikut mazhab Hanafi (Ibnu Taimiyah mengaku bermazhab ini) yang
mempercayai adanya majaz dalam al-Quran. Seperti Ibnu Abi Ya`la, Ibnu Agil,
Ibnu al-Khattab dan lain-lain sangat menganggap keberadaan majaz dalam
al-Quran.
6)
Seseorang yang
membaca kitab Shawaiq al-Mursalah karya Ibnu Qayyim, maka akan tampak
kebingungannya dalam menyikapi pendapat gurunya tersebut.
7)
Ibnu Taimiyah
menyalahi Ijma` ulama. Seperti pendapatnya talak waktu haid itu tidak terjadi,
masalah ta`liq talak, seorang haid boleh tawaf tampa membayar kaffarat,
kata-kata talak tiga hanya terjadi satu dan beberapa pendapat nyeleneh lainnya.
Al-hasil banyak pendapat Ibnu taimiyah yang bertentangan dengan mayoritas ulama
Ahlu sunnah wal jamaah.
8)
Namun begitu
sumbangan Ibnu Taimiyah terhadap pemikiran Islam tidaklah sedikit, maka sikap
yang terbaik mengenai Ibnu taymiyah adalah sikap yang disampaikan oleh Syaekh
Yusuf bin Ismail an-Nabhani, “Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama besar yang
masyhur dari salah satu umat Muhammad, namun begitu dia tidak lepas dari
kesalahan” Dalam buku yang sama an-Nabhani juga berkata, “Ibnu taimiyah ibarat
lautan besar yang berkecamuk ombak, di mana ombak itu kadang membawa intan
permata dan kadang membawa batu dan pasir dan kadang juga melempar kotoran”.
d)
Prinsip dasar Ibn Taimiyah
a.
Wahyu merupakan
sumber pengetahuan agama. Penalaran dan intuisi hanyalah sumber terbatas.
b.
Kesepakatan umum
pada ilmuwan yang terpercaya selama tiga abad pertama Islam juga turut memberi
pengertian tentang asas pokok Islam disamping Al-Qur’an dan As-Sunnah.
c. Hanya Al-Qur’an dan As-Sunnah penuntun yang otentik dalam
segala persoalan. Ia membuang dan sungguh-sungguh mencela pengaruh asing yang
korup serta mencemarkan kemurnian dan kesederhanaan Islam masa awal. Dari Ibn
Taimiyah
Muhammad Ibn Abdul Wahhab seorang pemikir besar abad
ke-18 dan sekolah Pembaruan al-Manar di Mesir mendapat ilham bagi persoalan
itu. Ia terang-terangan menyatakan permusuhan dgn eksponen Muslim berfilosofi
yunani. Filosofi katanya menimbulkan kebimbangan dan menyebabkan perpecahan
dalam Islam. Ia mengkritik keras doktrin Ibn Arabi tentang Kesatuan makhluk.
Menurut pendapatnya kesimpulan Ibn arabi dalam hal ini tidak saja bertentangan
dengan ajaran Nabi tetapi juga dengan doktrin ke-Esa-an Tuan seperti yang
termaktub di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ibn Taimiyah merupakan tokoh
controversial dalam dunia Islam. Seorang pemikir bebas yang yakin kepada
keunggulan hati nurani individu dan seorang yg ingin melihat Islam dalam
kemuliaan sejati ia lalu mengecam kepada semua pencemaran dan pengaruh asing
yang marasuk ke dalam Islam. Karena sikap inilah ia dicaci dipukul dicambuk
dipenjarakan dan dianiaya lahir batin. Namun ia tetap nekad hidup berhenti
menghadapi penganiayaan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abi
Al-Halim bin Taimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari Senin tanggal 10 Rabiul
Awwal tahun 661 H dan meninggal senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729 H.
Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdussalam Ibn Abdullah
bin Taimiyah, seorang Syaikh, Khatib dan hakim di kotanya.
Kata-kata Ibnu Taimiyah mengenai tasawuf adalah
“amal-amal hati yang diberi nama maqâmât dan ahwâl seperti: cinta kepada Allah
dan Rasulnya, tawakal, Ikhlas, sabar, syukur, khauf dan semacamnya adalah
kewajiban setiap maklhuk, baik kaum khâs atapun orang-orang awam”.
Ibn Taimiyah merupakan tokoh controversial dalam dunia
Islam. Seorang pemikir bebas yang yakin kepada keunggulan hati nurani individu
dan seorang yg ingin melihat Islam dalam kemuliaan sejati ia lalu mengecam
kepada semua pencemaran dan pengaruh asing yg marasuk ke dalam Islam. Karena
sikap inilah ia dicaci dipukul dicambuk dipenjarakan dan dianiaya lahir batin.
Namun ia tetap nekad hidup berhenti menghadapi penganiayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999
Abul Hasan Ali An-Nadawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1995
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2001
Ibrahim Zaki Khurshid, Da’irah al-Ma‘arif al-Islamiyah:,
Mathba‘ah al-Sya‘ab, Tahun 1969
Ibnu Hajar al-‘Asqalany, Al-Durar al-Kaminah fi A’yan
al-Mi’ah al-Tsaminah:, Dar al-Ma‘arif, Cetakan pertama, Tahun 1947.
http://ibnujusup.multiply.com/journal/item/17/sosok_dan_pemikiran_ibn_taimiyah
Jamil Ahmad Al-Islam, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta:
Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia, 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar